“Jangan kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dariku selain Al Quran. Barang siapa menulis dariku selain Al Quran hendaklah ia hapus. Ceritakan saja yang kamu terima dariku, tidak mengapa. Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di neraka.”
(HR Muslim)
“Kami pernah meminta izin kepada Nabi SAW untuk menulis tetapi beliau tidak mengizinkannya.”
(Said Al Khudri RA - Al Muhadits Al Fashil: 4/5)
Hadits di atas menganjurkan agar meriwayatkan hadits dengan lisan, juga larangan keras kepada orang yang membuat hadits palsu. Larangan penulisan hadits tersebut ialah untuk menghindarkan adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan hadits ke dalam lembaran-lembaran tulisan Al Quran, karena dianggapnya segala yang dikatakan Rasulullah SAW adalah wahyu semuanya. Lebih-lebih bagi generasi yang tidak menyaksikan zaman dimana wahyu itu diturunkan, tidak mustahil adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis adalah wahyu semuanya, hingga bercampur aduk antara Al Quran dengan hadits.
Bahwa larangan menulis hadits itu adalah terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadits itu tidak bercampur dengan Al Quran. Tetapi, setelah jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al Quran, maka hukum melarang menulisnya telah dihapus dengan membolehkannya.
Dengan demikian, hukum menulisnya adalah boleh.
Larangan menulis hadits itu adalah bersifat umum, sedang izin menulisnya bersifat khusus bagi orang yang mempunyai keahlian tulis menulis, hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya dan tidak dikhawatirkan akan salah, seperti Abdullah bin Amr bin Ash RA
Rasulullah SAW memerintahkan menulis hadits hanya kepada sahabat tertentu yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA menerangkan bahwa sesaat ketika kota Mekah telah dikuasai kembali oleh Rasulullah SAW beliau berdiri berpidato di hadapan para manusia. ketika beliau berpidato, tiba-tiba seorang laki-laki yang berasal dari Yaman yang bernama Abu Syah berdiri dan bertanya kepada Rasulullah SAW, ujarnya, “Ya Rasulullah! Tulislah untukku!” Jawab Rasulullah SAW, “Tulislah oleh kamu sekalian untuknya!”
Dan tidak ada satu pun riwayat tentang perintah menulis hadits yang lebih sah, selain hadits ini. Sebab, Rasulullah SAW dengan tegas memerintahkannya. Sejarah telah mencatat adanya beberapa naskah tulisan hadits yang bersifat pribadi dari beberapa sahabat dan tabi’in.
Rasulullah SAW mengizinkan Abdullah bin Amr bin Ash RA untuk menulis apa-apa yang didengarnya dari beliau karena ia adalah salah seorang penulis yang baik. Naskah ini disebut dengan Ash Shahifah Ash Shadiqah, karena ditulisnya secara langsung dari Rasulullah SAW, adapun Abu Hurairah RA pernah mengatakan: “Tidak ada satu pun sahabat Nabi yang haditsnya melebihi aku selain Abdullah bin Amr, ia menulisnya sedangkan aku tidak menulisnya.” (Fathul Baari: 1/217)
Naskah hadits Ash Shadiqah berisikan hadits sebanyak 1000 hadits, dan dihafal serta dipelihara oleh keluarganya sepeninggal penulisnya. Cucunya yang bernama Amr bin Syu’aib meriwayatkan hadits-hadits tersebut sebanyak 500 hadits. Bila naskah Ash-Shadiqah ini tidak sampai kepada kita menurut bentuk aslinya, dapat kita temukan secara kutipan pada kitab Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, Sunan An Nasai, Sunan At Tirmidzi, dan Sunan Ibnu Majah.
(HR Muslim)
“Kami pernah meminta izin kepada Nabi SAW untuk menulis tetapi beliau tidak mengizinkannya.”
(Said Al Khudri RA - Al Muhadits Al Fashil: 4/5)
Hadits di atas menganjurkan agar meriwayatkan hadits dengan lisan, juga larangan keras kepada orang yang membuat hadits palsu. Larangan penulisan hadits tersebut ialah untuk menghindarkan adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan hadits ke dalam lembaran-lembaran tulisan Al Quran, karena dianggapnya segala yang dikatakan Rasulullah SAW adalah wahyu semuanya. Lebih-lebih bagi generasi yang tidak menyaksikan zaman dimana wahyu itu diturunkan, tidak mustahil adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis adalah wahyu semuanya, hingga bercampur aduk antara Al Quran dengan hadits.
Bahwa larangan menulis hadits itu adalah terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadits itu tidak bercampur dengan Al Quran. Tetapi, setelah jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al Quran, maka hukum melarang menulisnya telah dihapus dengan membolehkannya.
Dengan demikian, hukum menulisnya adalah boleh.
Larangan menulis hadits itu adalah bersifat umum, sedang izin menulisnya bersifat khusus bagi orang yang mempunyai keahlian tulis menulis, hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya dan tidak dikhawatirkan akan salah, seperti Abdullah bin Amr bin Ash RA
Rasulullah SAW memerintahkan menulis hadits hanya kepada sahabat tertentu yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA menerangkan bahwa sesaat ketika kota Mekah telah dikuasai kembali oleh Rasulullah SAW beliau berdiri berpidato di hadapan para manusia. ketika beliau berpidato, tiba-tiba seorang laki-laki yang berasal dari Yaman yang bernama Abu Syah berdiri dan bertanya kepada Rasulullah SAW, ujarnya, “Ya Rasulullah! Tulislah untukku!” Jawab Rasulullah SAW, “Tulislah oleh kamu sekalian untuknya!”
Dan tidak ada satu pun riwayat tentang perintah menulis hadits yang lebih sah, selain hadits ini. Sebab, Rasulullah SAW dengan tegas memerintahkannya. Sejarah telah mencatat adanya beberapa naskah tulisan hadits yang bersifat pribadi dari beberapa sahabat dan tabi’in.
Rasulullah SAW mengizinkan Abdullah bin Amr bin Ash RA untuk menulis apa-apa yang didengarnya dari beliau karena ia adalah salah seorang penulis yang baik. Naskah ini disebut dengan Ash Shahifah Ash Shadiqah, karena ditulisnya secara langsung dari Rasulullah SAW, adapun Abu Hurairah RA pernah mengatakan: “Tidak ada satu pun sahabat Nabi yang haditsnya melebihi aku selain Abdullah bin Amr, ia menulisnya sedangkan aku tidak menulisnya.” (Fathul Baari: 1/217)
Naskah hadits Ash Shadiqah berisikan hadits sebanyak 1000 hadits, dan dihafal serta dipelihara oleh keluarganya sepeninggal penulisnya. Cucunya yang bernama Amr bin Syu’aib meriwayatkan hadits-hadits tersebut sebanyak 500 hadits. Bila naskah Ash-Shadiqah ini tidak sampai kepada kita menurut bentuk aslinya, dapat kita temukan secara kutipan pada kitab Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, Sunan An Nasai, Sunan At Tirmidzi, dan Sunan Ibnu Majah.
Komentar
Posting Komentar