“Siapa saja yang menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan pendapatnya sendiri maka hendaknya dia menempati tempat duduknya yang terbuat dari api neraka”.
(HR. Ahmad, At Tirmidzi dan Ibnu Abi Syaibah).
Para Ulama Ahlu Sunnah sangat ketat dalam memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Untuk memahami kandungan dan maksud-maksud ayat al-Quran, diperlukan penafsiran oleh orang yang memenuhi kualifikasi. Meski kualifikasi itu tidak mutlak, namun para Ulama tafsir menetapkan syarat-syarat yang sangat ketat sehingga tidak semua orang dapat menafsirkan al-Quran.
.
Ibnu Katsir menyebutkan bagaimana cara terbaik dalam menafsirkan Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut :
.
1. Menafsirkan Al Qur’an dengan Al-Qur’an.
Jika ada ayat yang mujmal (global), maka bisa ditemukan tafsirannya dalam ayat lainnya.
2. Jika tidak didapati, maka Al-Qur’an ditafsirkan dengan sunnah atau hadits.
3. Jika tidak didapati, maka Al-Qur’an ditafsirkan dengan perkata’an para Sahabat karena mereka lebih tahu maksud ayat, lebih-lebih ulama sahabat dan para senior dari sahabat Nabi seperti Khulafaur Rosyidin yang empat, juga termasuk Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar.
4. Jika tidak didapati, barulah beralih pada perkataan Tabi’in seperti Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah (bekas budak Ibnu ‘Abbas), ‘Atho’ bin Abi Robbah, Hasan Al Bashri, Masruq bin Al Ajda’, Sa’id bin Al Musayyab, Abul ‘Aliyah, Ar Rabi’ bin Anas, Qatadah, dan Adh Dhahaq bin Muzahim.
(Lihat Tafsir Al Qur’an Al‘Adzhim karya Ibnu Katsir,1: 5-16).
Itulah metode yang di gunakan oleh para Ulama Ahlus Sunnah dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Bukan dengan logika (hawa nafsu) sendiri secara serampangan sebagaimana yang di lakukan oleh kelompok-kelompok yang menyimpang dan sesat.
Komentar
Posting Komentar